Thursday, May 7, 2009

KHILAFIYYAH MURID VS GURU

Sejak zaman dahulu hingga sekarang yang namanya khilafiyyah atau perbedaan pendapat tidak pernah hilang. Khilafiyyah ini bisa terjadi antara siapa saja, antara seorang dengan teman, dengan keluarga, bahkan antara murid dan guru. Hanya saja yang perlu kita perhatikan bukanlah khilafiyyahnya, tapi bagaimana menyikapi khilafiyyah tersebut dengan bijak, sebab tidak semua khilafiyyah itu berakibat buruk, ada juga khilafiyyah yang membawa rahmat. Berikut ini beberapa khilafiyyah yang pernah terjadi di kalangan ahli ilmu.
1. Murid salah vs guru saleh
Khilafiyyah ini antara lain terjadi di masa Tabi'in, antara Washil bin Atha' dan gurunya Imam Hasan Al Bashri. Khilafiyyah ini terjadi ketika ada seorang yang bertanya kepada Imam Hasan Al Bashri tentang kedudukan seorang yang berbuat dosa, sebab ada sebagian kelompok yang memvonis mereka dengan term KUFUR, sebagian lagi berpendapat bahwa dosa tersebut tidak berpengaruh kepada keimanan seseorang. mendengar pertanyaan tersebut Imam Hasan Al Bashri berfikir sejenak untuk menjawabnya, namun di saat itu Washil bin Atha' dengan lancangnya mendahului sang guru untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ia berkata "saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah mu'min dan juga tidak kafir, tapi kedudukannya antara kedua manzilah tadi (antara mu'min dan kafir) atau secara istilah Manzilah bainal Manzilatain."
Setelah menjawab pertanyaan tersebut Washil bin Atha' pergi menyendiri ke salah satu tiang masjid, menegaskan lagi jawabannya tersebut kepada jama'ah Imam Hasan Al Bashri. Pada saat itulah Imam Hasan Al Bashri berkata "I'tazala anna Washil" artinya Washil telah menyindiri (mengisolir) diri dari kami. Sejak saat itu faham yang dibawa oleh Washil bin Atha' dikenal dengan faham Mu'tazilah.
Ini Khilafiyyah antara murid yang berfaham sesat (Mu'tazilah) dengan guru yang saleh (Ahlus Sunnah wal jama'ah).

2. Murid saleh vs guru saleh
Khilafiyyah yang kedua ini banyak terjadi di kalangan ahli ilmu, seperti khilafiyyah antara Imam Syafi'i dengan gurunya Imam Malik, atau Imam Ahmad bin Hambal dengan gurunya Imam Syafi'i. Khilafiyyah seperti ini adalah khilafiyyah yang membwa rahmat, sebab pendapat yang mereka kemukakan semua memiliki dasar yang kuat baik dari Al Qur'an atau Hadits. Mereka sendiri saling menghargai satu sama lain, tidak saling mencela dan tidak saling memusuhi. Bagaimana Imam Syafi'i memuji Imam Malik dengan menyamakan bagaikan bintang yang bersinar terang, sebaliknya Imam Malik memuji Imam Syafi'i dengan mengatakan beliau adalah orang Quraisy yang paling alim yang pernah dikenal. Imam Ahmad bin Hambal pun selalu memuji dan mendo'akan Imam Syafi'i selama 40 tahun, dan Imam Syafi'i pun memuji keilmuan Imam Ahmad bin Hambal. Itulah khilafiyyah yang indah, sebab mereka mengerti khilafiyyah bukan berarti permusuhan tapi perluasan pemahaman agama, sehingga umat menjadi mudah dalam menjalani ibadah sehari-hari.

3. Murid saleh vs guru salah
Peristiwa ini pernah terjadi masih di kalangan ulama salaf (generasi awal), antara Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan gurunya Imam Abu Ali Al Jubba'i. Imam Abu Hasan Al Asy'ari belajar kepada Imam Abu Ali Al Jubba'i hingga berusia 40 tahun, dan tidak sedikit beliau mengarang kitab yang berisi paham Mu'tazilah. Meskipun beliau telah lama mempelajari aliran Mu'tazilah, namun pada akhirnya ia meninggalkan aliran tersebut bahkan menentang habis semua pemahamannya yang salah.
Ada banyak pendapat tentang masalah ini. Imam As Subki dan Ibnu Asakir mengatakan penyebab Imam Abu Hasan Al Asy'ari meninggalkan gurunya karena pada suatu malam beliau bermimpi bertemu Rasulullah Saw, dalam mimpinya itu Rasulullah Saw mengatakan kepadanya bahwa Madzhab ahli Hadits yang benar sedangkan madzhab Mu'tazilah salah.
Pendapat lain mengatakan bahwa penyebab beliau meninggalkan gurunya adalah, terjadi perdebatan yang cukup sengit antara beliau dengan gurunya, mengenai perbuatan Allah Swt yang saleh dan Ashlah. Di dalam masalah ini Imam Abu Hasan Al Asy'ari tidak sependapat dengan gurunya, dan beliau mengajukan beberapa pertanyaan, namun sang guru tak mampu menjawab pertanyaan beliau. Sejak saat itu beliau bertambah yakin bahwa paham Mu'tazilah itu sesat dan paham Ahlus Sunnah yang benar. Beliau langsung meninggalkan paham Mu'tazilah yang selama ini dipelajarinya dan beralih ke paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan beliau mengarang sekitar 90 kitab yang menentang paham-paham yang sesat antara lain paham Mu'tazilah tersebut.
Dari peristiwa ini kita dapat mengambil pelajaran agar jangan terlalu fanatik terhadap guru, sehingga menganggap mereka sebagai orang suci yang luput dari salah. Setiap manusia mungkin lupa dan mungkin salah. Ketika mereka lupa atau salah sikap kita adalah menegurnya bukan mengikutinya.

Demikian beberapa khilafiyyah yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, hendaknya kita bersifat objektif dalam melihat masalah khilafiyyah.

والله أعلم بالصواب

No comments:

Post a Comment